Status Kewarganegaraan Anak dari Perkawinan Campur


Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama. Semua agama umumnya mempunyai hukum perkawinan yang tekstular.

Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat ternyata tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan duka. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut sebagai sebuah perkawinan. Perkawinan pada hakekatnya adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan lapisan masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut hasil survei online yang dilakukan Indo-MC tahun 2002, dari 574 responden yang terjaring, 95,19% adalah perempuan warga WNI yang menikah dengan pria WNA. Angka terbesar adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah dan sahabat pena. Perkawinan campur terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Di lain pihak, Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta mencatat 878 perkawinan  selama tahun 2002 sampai tahun 2004 dan 94,4 persennya adalah perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA (829 pernikahan).Angka tersebut belum termasuk pernikahan di KUA yang tidak didaftarkan di KCS dan di seluruh Tanah Air.

Perempuan WNI adalah pelaku mayoritas kawin campur, tetapi hukum di Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan campuran justru tidak memihak perempuan. Salah satunya adalah UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan telah menempatkan perempuan sebgai pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kawin campur (Pasal 8 ayat 1) dan kehilangan hak atas pemberian kewarganegaraan pada keturunannya. Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan.

Persoalan yang penting dari adanya perkawinan campuran adalah masalah status dan kedudukan kewarganegaraan anak. Pada saat berlakunya UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 yang menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yaitu harus mengikuti kewarganegaraan ayahnya.

Pengaturan ini pada kenyataannya menimbulkan persoalan-persoalan yang berkelanjutan, seperti kerentanan akibat perceraian ataupun kendala si ibu  atas hak pengasuhan anaknya yang Warga Negara Asing. Munculah suatu tuntutan agar permasalahan tersebut dipecahkan dengan menerapkan asas-asas kewarganegaraan secara universal, non-diskriminatif, dan penghormatan hak asasi. Anak sebagai subjek hukum dari hasil perkawinan campuran memiliki hak untuk menetukan opsi status kewarganegaraan yang diinginkan atau tidak secara otomatis harus mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Diberlakukannya UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, yang mengantikan UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 akan membawa dampak-dampak sistem kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran menjadi lebih adaptif terhadap tuntutan dan perkembangan zaman. Namun persoalan juga akan dihadapi terutama terkait dengan implementasi teknis atas perubahan tersebut, sebab perubahan ini menyangkut status hukum kewarganegaraan anak yang tidak bisa lepas dari hubungan antara Warga Negara dengan Negaranya, serta hak dan kewajiban yang melekat.


Komentar

  1. teman jangan lupa yah masukin link gunadarmanya k dalam blog kamu. Sekarang kan sudah mulai softskill, sebagai salah satu mahasiswa gunadarma ayo donk masukin link gunadarmanya, misalkan:
    www.gunadarma.ac.id
    www.studentsite.gunadarma.ac.id
    www.baak.gunadarma.ac.id
    www.ugpedia.gunadarma.ac.id
    :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer